Curency WAR : Sang Superior Dan Mereka Yang Terkapar!

Kepiawaian para “dokter finansial” bangsa, terserah anda mau mentafsirkan dokter itu siapa? Bank sentarl kah, pemerintah, jajaran menteri, investor, ekonom, atau anda sendiri? that’s up to you!

Saya ulangi lagi, kepiawaian para dokter finansial bangsa barangkali bisa membawa kita melenting dari hantaman krisis yang sekonyong-konyong datang, seperti krisis kecil-kecilan yang dengan malu-malu merayu rupiah agar “menaikan” tahta keegoan finansial  dari 13.900 menjadi 14.000 sekian dan bla bla bla. Sebaliknya, kegagalan para dokter finansial ini dalam meramu kebijakan dan strategi bisa membawa kita terkoyak dalam nestapa yang kelam dan penuh duka lara.

Tetapi, tidak semua “kegagalan” akan membawa nestapa dan luka yang mendalam. Tak jarang kegagalan justru menghadirkan suka cita, rasa syukur, atau bahkan ketermehek-mehekan banyak pihak.

Sebut saja kegagalan rupiah dalam mempertahankan eksistensi 13.000 nya akibat ulah Yuan dan Dollar dalam kancah perang mata uang global (Currency War).

Berbeda dengan perang dunia yang begitu jelas disaksikan oleh generasi 45 dan kakek buyut mereka, perang gerilya ala jendral Soedirman yang membuat Kompeni kocari kacir, atau mungkin perang dingin Amerika vs Uni Soviet yang konon tak saling bicara layaknya sepasang kekasih yang baru putus pacaran. But, currency war is absolutely different!

Anda, saya, dan kita semua mungkin pernah menyaksikan perang perpolitikan ala kaum elite yang saling adu argumen dan bukti, saling melempar kata bahkan melempar kursi, atau mungkin perang media massa yang berlomba-lomba memproduksi figur euforia lalu muncul kepermukaan dan menjadi figur teladan seperti si doi itu. Tapi lagi-lagi Currency War tetap beda!.

Lalu seperti apa perang mata uang itu? Currency war jauh lebih kejam, lebih bengis, dan lebih menakutkan.


Plot Dari Kacamata Ekonom

Mari kita samakan persepsi sebelumnya, bahwa uang bukan sekedar alat tukar. Jauh sebelum Rupiah lahir dari rahim pertiwi, John Maynard Keynes salah seorang ekonom cerdas sekaligus “bangsat” telah menggeser funsi uang. Uang bukan lagi sekedar alat tukar untuk mengisi perut atau mendapatkan barang yang anda mau. Jauh dari fungsi tradisional semacam itu, Keynes menambahkan fungsi uang sebagai alat ekspektasi dan komoditas.

Dengan uang anda mampu menjadi pesaing handal bagi dukun-dukun yang telah puluhan tahun bertapa. Kenapa? Karena anda memiliki kemampuan magis sekaliber Mama Laurent yang bisa memprediksi masa depan. Seperti apa harga dimasa depan, kebutuhan apa yang akan datang, haruskah saya menimbun, dan berbagai gejolak perekonomian lainnya. Keynes telah menjadikan masyarakat global saat ini sebagai manusia dengan daya magis yang luar biasa hebat!

Uang adalah komoditas alias barang. Anda bisa dengan mudah menukarkan rupiah dengan mata uang lainnya lewat transaki valas. Ini tentu menjadi aktivitas yang sangat menyenangkan. Tetapi menyakitkan jika anda tau bahwa 4 digit mata uang anda hanya senilai satu digit mata uang negara lain.

Inilah yang menjadikan ketimpangan dalam dunia perekonomian global. Sistem perdagangan internasional Adam Smith dan David Richardo menjadi jalan mulus bagi negara superior untuk mengintimidasi sekaligus mengkebiri negara-negara inferior yang malang. Kondisi inilah yang mengawali munculnya Perang Mata Uang.

Dalam dunia perekonomian internasional, dua atau lebih negara akan terhubung lewat kerjasama dalam bentuk perdagangan alias ekspor impor.

Ekspor-impor tak lain merupakan aktivitas jual beli. Dan dalam jual beli yang diinginkan oleh setiap pelaku pasar adalah profit. Profit inilah yang dalam bahasa perdagangan populer dengan sebutan surplus. Untuk mendapatkan surplus maka tentu saja ekspor harus lebih besar daripada impor.

Lalu pertanyannya dengan mata uang apa transaksi ekspor-impor tersebut dinilai dalam satuan moneter?

Hard Currency. Entah sejak kapan lembaga IMF telah menetapkan 4 mata uang kuat yaitu Euro, JPY (Yen), GBP (Pound Sterling), USD. Artinya jika Indonesia melakukan ekspor dengan Amerika maka negara kita akan mendapatkan pembayaran dalam bentuk USD atau yang biasa disebut dengan devisa. Pun demikian jika Indonesia mengimpor barang dari Amerika, maka kita harus membayarnya dengan dollar.

Nah seperti apa implikasi dari adanya hard currency ini?

Dengan sistem perdagangan dan pembayaran semacam itu maka muncullah yang namanya scarcity alias KELANGKAAN. Dollar menjadi mata uang yang super langka. Ketersediaannya terbatas, sementara permintaannya makin lama makin bergejolak. Loh, kok bisa?

Mudah saja, negara berkembang semacam Indonesia dan negara-negara dunia ketiga memiliki hasrat konsumsi yang sangat tinggi. Dengan produktivitas dalam negeri yang tertinggal, mau gak mau, suka gak suka, Impor adalah satu-satunya pilihan. Jika impor kita meningkat maka permintaan terhadap dollar sudah bisa ditebak. Pasti ikut meningkat.

Permintaan dollar yang meningkat akan menjadikan nilai mata uang tersebut naik. Ingat mekanisme permintaan dan penawaran?

Nilai tukar (kurs) dollar yang makin tinggi tentu saja akan menyebabkan Rupiah makin anjlok. Nah loh kok bisa gitu ya?

Negara kita sama seperti kebanyakan negara lainnya menganut sistem kurs mengambang (Free Floating Exchange Rate). Artinya naik-turunnya kurs rupiah dipengaruhi oleh mekanisme permintaan dan penawaran. Anda mungkin bertanya kok mau-maunya ya Bank Sentral make sistem kurs mengambang. Padahal kan perekonomian kita labil, ekspor gak ada yang lain kecuali ekspor barang mentah. Kan makin lama malah makin membikin rupiah ngenes!

Begini bung, di negeri ini terlalu banyak mafia. Mulai dari mafia beras sampai mafia sapi, ya kan? Nah, keputusan Bank Sental dalam hal ini BI untuk menganut free floating rate dibandingkan fixed rate (Kurs Tetap) adalah tepat. Kenapa? Untuk menghindari mafia dollar dan rupiah. Emanga ada juga ya mafia dollar?

Barangkali Anda pernah mendengar Black Market atau pasar gelap. Seandainya BI menggunakan sistem kurs tetap, maka akan tercipta black market dimana bandit-bandit finansial akan menjual dollar dengan harga yang lebih tinggi atau lebih rendah.

Misalnya, Bank Indonesia menetapkan bahwa 1 dollar senilai dengan 9.000 Rupiah. Maka dalam black market, ada oknum yang akan menjual dollar dibawah harga pemerintah. misalkan hanya dengan 5.000 rupiah anda bisa mendapatkan 1 dollar. Bukankah ini berbahaya? Itulah sebabnya BI Menggunakan kurs mengambang sehingga tidak akan pernah terbentuk yang namanya pasar gelap. Kenapa? Karena investor dan masyarakat akan cenderung percaya dengan harga yang terjadi dipasar.

Akan tetapi, baik free floating rate maupun fixed rate memiliki kelebihan dan kelemahan. Negeri kita mungkin aman dari cengkraman Black Market, tetapi terombang-ambing dalam mekanisme permintaan dan penawaran. Rupiah menjadi sensitif hingga kemudian menyentuh level 14.000 lebih seperti saat ini.

Lalu adakah negara yang menganut fixed rate? Tentu ada. Bukan perang namanya jika semua strategi sama. Dollar Amerika mungkin diuntungkan dengan sistem free floating ini. Tetapi disisi lain dollar juga bisa dikendalikan oleh mata uang yang menganut fixed rate. Siapa Dia?

Dua Idola Dalam Currency War 2015 ( USD VS Yuan)

Siapa lagi kalau bukan negeri tirai bambu, Tiongkok, yang baru-baru ini meresahkan dunia finansial dengan kebijakan devaluasi Yuan nya. Devaluasi merupakan amunisi bagi mata uang yang menganut  sistem fixed rate atau pedging.

Ada dua alasan kenapa Tiongkok mendevaluasi Yuan. Alasan pertama adalah untuk meningkatkan ekspor. Yuan yang melemah bukanlah masalah besar bagi Bank Sentral Tiongkok (PBOC).

Kualitas ekspor Tiongkok sudah diacungi jempol banyak mitra nya. Ditambah devaluasi, maka harga ekspornya akan semakin murah. Pada akhirnya komoditas global akan semakin ramai dibanjiri produk made in China. Silahkan periksa kaos kaki, kancut, sampai gadget yang menjadi teman setia anda. Dijamin anda akan menemukan sesuatu disana 😀

Dengan devaluasi yuan tersebut, dollar makin menjulang tinggi (terapresiasi). Amerika jelas kelabakan, karena dollar berada dalam sistem free floating rate. Rencana bank sentral Amerika (The Fed) yang akan meningkatkan suku bunga acuan pun sempat tergalaukan. Tapi saya kira hanya itulah satu-satunya jalan untuk membuat dollar kembali stabil bahkan menjadi semakin super karena nantinya akan mampu dikendalikan the Fed sepenuhnya.

Anda tentu ingat strategi Amerika pasca krisis 2008. The Fed USA meluncurkan kebijakan Quantitative Easing (QE) yang mengakibatkan tersedianya dana murah dalam USD yang mengalir deras bukan hanya di dalam Amerika  tetapi juga ke Asia dan  bagian dunia lainnya.

Setelah 2-3 tahun, perekonomian Amerika berangsur pulih dan pengangguran pada triwulan pertama 2015 berada pada tingkat terendah. Sejalan dengan membaiknya perekonomian, USD menjadi kuat (Strong USD) dan Amerika menjadi sasaran tujuan ekspor berbagai negara.

Tiongkok tidak tinggal diam melihat Amerika termehek-mehek dalam kesenangan semacam itu. Sehingga puncaknya pada 11 Agustus kemarin, yuan didevaluasi membuat dollar yang awalnya kuat justru menjadi kelewatan kuat. Jika Amerika tidak melakukan kebijakan yang matang, maka neraca perdagangannya bisa defisit akibat ekspor yang berkurang karena tingginya nilai dollar.

Itulah sebabnya The Fed akan menaikan suku bunga acuan yang akan berdampak pada arus balik USD. Jika arus balik USD terjadi, Amerika kembali memiliki kendali atas dollarnya sehingga mampu distabilkan lagi.

Akan tetapi, serangan Yuan tidak berhenti disitu saja. Di atas sudah saya sebutkan bahwa ada dua alasan kenapa Yuan di devaluasi, pertama adalah alasan ekspor sebagaimana penjelasan saya di atas.

Lalu apa alasan keduanya?

Sungguh diluar dugaan, dan entah apa gerangan rencana Tiongkok pada masa mendatang, alasan keduanya adalah untuk menjadikan Yuan sebagai hard currency yang akan berdiri sejajar dengan Dollar. Yang menjadi masalah bukan pada hard currency nya. Tetapi Yuan akan melepas sistem fixed rate dan menganut paham yang sama dengan dollar yaitu Free Floating rate.

Hal tersebut merupakan salah satu prasyarat Yuan untuk masuk dalam SDR (Special Drawing Rights) IMF yang merupakan basket mata uang IMF yang saat ini meliputi mata uang Euro, JPY (Yen), GBP (Pound Sterling), USD.

Yang jelas masuknya Yuan nantinya dalam mata uang unggulan IMF merupakan rencana jangka panjang Tiongkok. Amerika pun saya kira masih memiliki amunisi lebih dengan kredibilitas dollar sebagai mata uang nomor satu yang belum bisa bergeser.

Perang mata uang ini akan terus berlanjut, dan ironisnya justru mata uang negara berkembang yang menjadi korban dalam permainan ini. Sungguh menyakitkan!

Yang saya jelaskan di atas hanyalah currency war yang terlihat, karena sesungguhnya ada keanehan jika anda mengamati dan menganalisa pergerakan valas diseluruh dunia. Terdapat invisible factor atau faktor yang tidak nampak yang turut berkontribusi dalam permainan mata uang ini.

Keuangan global ternyata telah berubah menjadi sirkuit kasino global, tempat dimana para spekulan berjudi mempertaruhkan modal hingga ribuan trilyun rupiah. Produk-produk keuangan derivatif nan eksotik diciptakan hanya demi memuaskan hasrat spekulatif para “bandit-bandit keuangan global” yang haus akan keuntungan tanpa batas. MENYERAMKAN!