Rahasia Dibalik Inflasi

Pengertian Inflasi yang dipahami dalam dunia ekonomi adalah naiknya harga secara umum disertai dengan dampak yang merugikan perekonomian jika tidak terkontrol dengan baik. Namun demikian, setiap kenaikan harga tersebut akan mendatangkan dampak positif dan negatif tergantung persentasenya.

Jadi secara sederhana, pengertian inflasi adalah kenaikan harga. Lalu apa saja yang mencakup kenaikan harga tersebut? Mari kita bahas seperti apa inflasi dilihat dari berbagai perspektif.

Inflasi dalam perspektif mikro

“There is a trade-off between inflation and unemployment” (Philips). Dalam bahasa bumi pertiwi-nya penulis akan mencoba mengartikan pernyataan Philips tadi dengan “ada hubungan yang saling bertolak belakang (korelasi negatif) antara inflasi dan pengangguran”.

Hubungan antara inflasi dan pengangguran memang bukanlah hal yang baru dalam perekonomian. Jangankan para ekonom-ekonom terbaik bangsa, bahkan siswa-siswi SMA (jurusan IPS) sudah bisa dipastikan mengenal ‘skandal’ dua variabel (inflasi dan pengangguran) ini.

‘Skandal dua variabel’, begitulah penulis menyebut keterkaitan inflasi dan pengangguran. Dua variabel ini sangat terkenal dalam pembahasan kurva Philips (Philips Curve). “jika harga naik , maka produsen akan menawarkan lebih banyak produk (barang).

Untuk menawarkan (menjual) barang yang lebih, produsen harus memproduksi lebih. Jika produksi dilebihkan maka produsen akan membutuhkan input (dalam hal ini tenaga kerja) yang lebih banyak. Penyerapan tenaga kerja ini pada akhirnya akan mengurangi jumlah pengangguran”.

“Sebaliknya, jika harga turun maka produsen akan mengurang jumlah barang yang dijualnya (meminimalkan output). Dalam rangka meminimalkan ouput produsen akan meminimalkan input (tenaga kerja) agar terjadi keseimbangan dan sekaligus mencegah kerugian. Pada akhirnya jumlah tenaga kerja dikurangi. Akibatnya jumlah pengangguran semakin bertambah.”


Seperti itulah gambaran singkat mekanisme dan cara kerja kurva philips. Kenapa hal tersebut bisa terjadi? Penulis mencoba menjawab pertanyaan kritis seperti ini dengan mengungkapkan bahwa Philips menggunakan asumsi dengan pendekatan produsen.

Rahasi dibalik inflasi

Inflasi atau naiknya harga secara mikro mengindikasikan adanya kenaikan harga yang ditinjau dari pandangan produsen. Karena perspektif produsen yang dijadikan asumsi dasar Philips maka naik atau turunya harga akan berpengaruh terhadap apa yang akan dilakukan oleh produsen.

Pertanyaan yang akan muncul selanjutnya adalah Apakah Philips mengabaikan Konsumen dalam kasus ini? Jawaban dari pertanyaan diatas adalah ‘tentu saja tidak’. Philips memang jenius. Tentu saja dia jenius. jika tidak, the philips curve (kurva philips) hanya akan menjadi pemikiran personal yang tidak akan pernah sampai ke benak penulis apalagi kepada para pembaca yang nantinya akan membaca artikel ini.

Kembali ke permasalahan diatas, Philips tidak mengabaikan konsumen. Karena posisi konsumen dalam kasus ini adalah invisible (tak terlihat). Peran konsumen tidak perlu dipertanyakan karena Philips telah mengemukakan secara eksplisit dalam pernyataan “naik-turunnya harga.”

Pemilihan kata “naik-turunnya harga” bukanlah kata-kata yang tidak berkelas, melainkan kata-kata yang mengandung pendekatan logika (Logical Approach). Orang apatis akan membaca kata-kata ini sebagai pernyataan yang biasa, tak perlu dipertanyakan.

Namun bagi mereka yang skeptis, bukanlah pernyataan jika tidak ada pertanyaan. Pernyataan eksplisit Philips hanya akan mampu dibaca oleh orang-orang skeptis yang pada akhirnya akan menemukan kesimpulan bahwa disanalah (naik-turunnya harga) peran konsumen bersemayan.

Sebagai konklusi, konsumenlah yang menyebabkan kenapa harga naik dan turun disamping peran produsen yang secara implisit telah dijelaskan Philips.

Demikianlah konsep inflasi dari perspektif mikro yang di kaji oleh Philips. Namun ada kecacatan dalam kajian ini, sebuah ungkapan yang wajar jika mereka yang membacanya berperan sebagai para skeptis yang kritis. Bagaimana tidak, penelitian Philips ternyata mengesampingkan eksistensi faktor lain dalam ranah eknomi yang sebenarnya luas (cateris paribus).

Melalui asumsi cateris paribus (hal yang lain dianggap tetap), wajar jika ‘skandal dua variable’ terjadi. Dalam kondisi cateris paribus “kenaikan harga” mungkin akan menyebabkan pengangguran dan sebaliknya.

Namun bagaimana jika harga impor meningkat, atau upah yang tinggi, mungkinkah keduanya akan saling memengaruhi berdasarkan aturan Philips? Lantas Inflasi seperti apa yang akan terjadi, inflasi skala rendah kah atau tinggi bahkan hyper?

Bagaimana dengan pemerintah? Dalam kasus ini penulis akan mengatakan bahwa pemerintah berada pada posisi ‘dilema’. Mempertahankan harga yang tinggi ataukah menurunkannya dengan konsekuensi munculnya pengangguran yang belum bisa dipastikan.

Inflasi dalam perspektif makro

Dalam kajian ekonomi secara makro ada banyak hal yang saling terkait, saling memengaruhi, dan saling melengkapi . Ketika terjadi kenaikan harga, orang akan menafsirkannya dengan perspektif yang berbeda-beda. Pedagang akan melihat kenaikan harga ini sebagai suatu opportunity (kesempatan) untuk meraih profit yang lebih besar.

Masyarakat secara umum berbeda dengan pedagang, kenaikan harga berarti berkurangnya pendapatan riil bagi mereka. Bagaimana dengan pemerintah? Pemerintah ternyata memiliki bahasa sendiri dalam mengartikan kenaikan harga.

Bagi pemerintah kenaikan harga berarti implikasi sebab-akibat. Pemerintah akan menafsirkan arti inflasi secara kausalitas. Artinya, apa yang menyebabkan sesuatu terjadi dan apa akibatnya.

Berdasarkan teori pemerintah, inflasi bisa terjadi karena beberapa sebab, salah satunya karena dorongan biaya yang berlebihan (cost push inflation). Inflasi semacam ini memang yang paling sering terjadi. Meningkatnya biaya untuk memproduksi.

Dengan kata lain, harga faktor produksi baik tenaga kerja maupun modal mengalami kenaikan yang signifikan disertai dengan meningkatnya permintaan (demand pull inflation) dari sektor konsumen. Kondisi semacam ini akan menarik harga melewati keseimbangan pasar dengan kecepatan dua kali lipat. Akibatnya inflasi besar-besaran akan terjadi.

Mungkin kita masih ingat akan peristiwa yang terjadi di Zimbabwe pada tahun 2008. Zimbabwe saat ini pemegang rekor inflasi terbesar di dunia yaitu 2,200,000 % (2,2 juta persen!) Parahnya lagi harga-harga melambung begitu cepat hanya dalam hitungan menit bahkan detik tak heran jika karyawan toko-toko di zimbabwe begitu sibuk mengganti label harga jika terjadi perubahan harga.

Pada tanggal 20 Juli 2008 ini bank Zimbabwe juga menerbitkan pecahan uang sebesar 100 Milyar Dollar! yang merupakan rekor pecahan uang dengan nominal terbesar di dunia.
Kejadian ini tentunya sangat mengguncang dunia dan yang pasti mengobrak-abrik perekonomian Zimbabwe. Pertanyaannnya cukup sederhana. Kenapa inflasi dengan persentase sebesar itu bisa terjadi?.

Secara teori, kenaikan harga yang parah berada pada skala diatas seratus persen (>100%) atau yang dikenal dengan hyperinflation. Melihat kejadian di Zimbabwe tadi, menunjukan bahwa inflasi di negara tersebut telah mengalami pengkuadratan berkali-kali.

Satu hal yang akan penulis ungkapkan disini bahwa inflasi sejatinya terjadi karena jumlah uang beredar yang berlebihan dan tak terkendali. Meningkatnya jumlah uang beredar ini tentu saja disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya kebiasaan masyarakat yang konsumtif. Budaya konsumtif masyarakat akan memaksa mereka untuk menghabiskan semua pendapatan dalam satu tindakan, “belanja”. Akibatnya daya beli masyarakat meningkat, dan otomatis akan mendorong harga-harga naik secara berkala. Dalam situasi seperti ini sudah bisa ditebak apa yang akan terjadi selanjutnya.

Disisi lain, kejadian di Zimbabwe dipicu oleh kondisi politik negeri tersebut yang pada saat itu masih labil. Demikianlah jadinya,jika sektor ekonomi diabaikan dan pergolakan politik yang tak pernah usai. Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa krisis ekonomi adalah ujung dari segala krisis dalam suatu negara.

Berawal dari krisis politik, kemudian muncul krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap pemerintah dan sebaliknya, dan pada akhirnya ditutup dengan keberlangsungan krisis ekonomi yang berkepanjangan.

Baca juga artikel menarik lainnya 100 negara terkaya di dunia dan negara terkecil di dunia.

Cara Mengatasi Inflasi

Inflasi bukanlah penyakit dalam perekonomian. Inflasi bahkan dibutuhkan dalam rangka menstimulus pertumbuhan perekonomian ke arah yang lebih baik.

Namun inflasi seperti apa yang memiliki sifat stimulus bukan destruktif (penghancur) dalam ekonomi? Inflasi yang masih dalam kategori ringan dan sedang (10%-30%) dari harga sebelumnya memilki fungsi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (stimulus). Inflasi seperti ini masih dapat mentoleransi pendapatan riil masyarakat. Artinya, kenaikan harga tidak melebihi total pendapatan yang diterima masyarakat secara umum.

Imam al-Ghazali pernah berkata, kejadian-kejadian dalam perekonomian itu laksana cermin. Akan memantulkan bayangan yang berbeda tergantung objek yang ada di depannya.

Demikianlah inflasi, laksana cermin yang akan terlihat berbeda tergantung dari perspektif siapa. Apakah konsumen, produsen, ataukah pemerintah. Sehingga untuk mengurangi inflasi yang berlebihan perlu melihat pengaruhnya terhadap tiga pelaku ekonomi tadi (konsumen, produsen, dan pemerintah).

Karena pada hakikatnya ada penyebab inflasi yang saat ini masih belum diketahui banyak pihak. Jika penulis mengatakan inflasi terjadi karena adanya kelebihan jumlah uang beredar, biaya produksi yang berlebihan, tarikan permintaan, ataupun karena labilnya uang kertas, mungkin ini adalah faktor klasik yang sebagian besar orang sudah akrab dengannya.

Namun bagaimana dengan ikhtikar (penimbunan barang)? Ikhtikar dalam ekonomi Islam diharamkan karena jelas merugikan berbagai kalangan termasuk tiga pelaku utama ekonomi yang telah disebutkan diatas. Perbuatan menimbun barang ini dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang ingin merongrong keuntungan yang super besar dalam perekonomian.

Ketika ikhtikar dilakukan, persediaan barang akan habis. Dalam jangka waktu tertentu ketika persediaan suatu barang habis, mereka yang menimbun akan mengeluarkan barang-barang tadi dengan harga yang mereka kehendaki (monopoli).

Secara tidak langsung, praktik ikhtikar pada akhirnya akan disertai dengan praktik monopoli. Sejatinya dua hal inilah yang kemudian akan menyebabkan harga-harga terus meroket tak terbendung.

Hal diatas sebenarnya menjadi tantangan bagi pemerintah. Tidak, tepatnya tantangan bagi kita semua.

Meskipun nantinya pemerintah akan menetapkan aturan berupa sanksi bagi mereka yang melakukan ikhtikar, kesadaran dari semua pihak menjadi tuntutan utama.

Last but not least, sebuah perubahan struktural (kondisi perekonomian yang kokoh) tidak akan pernah terjadi tanpa adanya perubahan kultural (mengurangi budaya konsumtif dan menghilangkan praktik ikhtikar). Dan perubahan kultural tidak akan pernah terwujud tanpa adanya perubahan personal (menjadi pribadi yang berkarakter mulia).

Demikianlah informasi ekonomi terkait pengertian inflasi serta ruang lingkupnya yang bisa penulis ulas kali ini, semoga bisa memberikan manfaat kepada kita semua dan semakin memperluas cakrawala wawasan kita sebagai makhluk yang senang membaca.