Pengaruh Suku Bunga, Inflasi, dan Kurs Terhadap IHSG
Pergerakan harga saham seperti IHSG tidak terlepas dari pengaruh variabel makro semacam BI Rate (tingkat suku bunga), inflasi, dan nilai tukar (kurs).
Apa sebenarnya IHSG itu?
IHSG atau Indeks Harga Saham Gabungan (Composite) merupakan indikator atau cerminan pergerakan harga saham secara keseluruhan.
Perlu kita ketahui bahwa jumlah saham yang tercatat di bursa sangatlah banyak dan masing-masing dari saham tersebut memiliki kapitalisasi pasar yang berbeda-beda. Ketika seorang calon investor ingin melakukan investasi, maka ia membutuhkan sebuah data yang menggambarkan keadaaan yang sebenarnya dari berbagai saham yang tersebar di bursa. Inilah yang menjadi alasan adanya sebuah indeks atau cerminan yang menggambarkan keadaan saham secara keseluruhan atau yang kita kenal dengan IHSG.
Lalu apakah IHSG hanya menjadi indikator bagi seorang investor?
Tidak juga. Indeks Harga Saham Gabungan bahkan menjadi salah satu tolak ukur apakah sistem perekonomian suatu negara sedang anjlok atau baik. IHSG seringkali diasosiasikan dengan keadaan dan stabilitas perekonomian. Dengan kata lain, jika IHSG naik, maka hal tersebut berarti perekonomian sedang baik. Sebaliknya jika IHSG turun, maka stabilitas perekonomian sedang terganggu.
Ah, sangat menarik bukan? Sehingga jangan heran jika bursa saham harian ditutup dengan kesimpulan “IHSG Turun”, pemerintah menjadi sasaran dan korban celotehan rival-rival politik dan haters yang bertebaran dimana-mana.
Yang menarik selanjutnya adalah tentu saja kita ingin tahu apa saja yang menjadi faktor utama terhadap naik turunnya IHSG. Karena faktor-faktor itulah yang harus menjadi fokus pemegang kekuasaan (pemerintah) dalam menjaga stabilitas perekonomian atau paling tidak menjaga stabilinya pergerakan IHSG dan memuaskan “birahi” bisnis si anu dan si itu. 😀
Seperti yang saya sampaikan di awal bahwa pergerakan IHSG dipengaruhi oleh beberapa variabel makro, diantaranya berupa tingkat suku bunga, inflasi, dan nilai tukar. Oke, mari kita bahas one by one…
Suku Bunga (BI Rate)
Bank Indonesia yang merupakan bank sentral negara ini yang memiliki kewenangan atau otoritas untuk menetapkan tingkat suku bunga yang kita kenal dengan BI Rate.
Suku bunga tersebut ditetapkan sebagai acuan atas suku bunga pinjaman dan simpanan. Bank-bank di Indonesia, harus melihat suku bunga BI sebagai dasar dalam menetapkan bunga pinjaman maupun bunga simpanan (deposito). Namun BI Rate tidak bersifat memaksa. Artinya jika BI menetapkan rate interesetnya 7,5% maka Bank boleh menetapkan bunga pinjaman dan simpanannya sama atau lebih tinggi dan lebih rendah dari BI Rate.
Nah pertanyaannya adalah bagaimana BI Rate mempengaruhi pergerakan IHSG?
Ilustrasi : katakanlah Bank Indonesia menaikan tingkat suku bunga dari 5% menjadi 7,5%. Kebijakan tersebut kemudian diikuti oleh bank-bank di Indonesia dengan menaikkan bunga simpanannya, misalnya dari 4% menjadi 7%. Apa yang terjadi selanjutnya?
Seorang investor yang rasional, akan melihat keadaan ini sebagai anugerah finansial. Bayangkan jika ia memiliki uang 100 milyar? dengan bunga simpanan 7%, dalam satu tahun kemudian uang nya akan menjadi 107 milyar. Hanya dengan mendepositokannya di bank tanpa melakukan apa-apa.
Dengan kenaikan bunga simpanan ini, investor akan memiliki alternatif lain untuk menggandakan uang mereka tanpa harus bersusah-susah di bursa saham. Hal ini akan menyebabkan permintaan saham berkurang, dan dalam jangka waktu tertentu menyebabkan pergerakan IHSG menjadi turun.
Lalu bagaimana dengan bunga pinjaman?
Bunga pinjaman akan berpengaruh jika BI menurunkan tingkat suku bunga yang kemudian direspon oleh bank-bank secara umum yang juga ikut menurunkan tingkat bunganya termasuk bunga pinjaman.
Jika bunga pinjaman turun, itu berarti pembiayaan atau financing yang diberikan bank akan sangat menarik bagi para pengusaha. Dan ingat, para investor yang ada di bursa saham sana, bukan hanya sekedar investor. Sebagian besar dari mereka adalah pelaku usaha di sektor riil.
Jika bunga pinjaman turun, para investor ini akan lebih memilih untuk meminjam uang di bank lalu mengelolanya untuk usaha di sektor rill dibandingkan berinvestasi di bursa saham.
Lagi-lagi, hal ini akan berpengaruh pada mekanisme permintaan dan penawaran saham. Permintaan saham akan berkurang sehingga IHSG pun ikut-ikutan turun.
Inflasi dan Kurs
Inflasi atau kenaikan harga lebih cenderung berpenagruh terhadap tingkat profit perusahaan yang tercatat di bursa efek. Kenaikan harga biasanya akan diikuti oleh naiknya laba perusahaan. Jika laba perusahaan naik, maka nilai saham perusahaan itu pun akan cenderung naik yang diikuti oleh kenaikan IHSG.
Adapun pengaruh kurs terhadap IHSG adalah terkait dengan ekspektasi investor terhadap perekonomian suatu negara. Misalnya jika nilai tukar rupiah terhadap dollar terdepresiasi (melemah), akan menimbulkan sikap was was dikalangan investor.
Bagi investor sendiri, depresiasi rupiah terhadap dollar menandakan bahwa prospek perekonomian Indonesia suram. Sebab depresiasi rupiah dapatterjadi apabila faktor fundamental perekonomian Indonesia tidaklah kuat,sehingga dolar Amerika akan menguat dan akan menurunkan Indeks HargaSaham Gabungan di BEI.
Investor tentunya akan menghindari resiko, sehingga investor akan cenderung melakukan aksi jual dan menunggu hingga situasi perekonomian dirasakan membaik. Aksi jual yang dilakukan investor ini akan mendorong penurunan indeks harga saham di BEI.
Demikian ulasan tentang pengaruh berbagai variabel makro (suku bunga, inflasi, dan kurs) terhadap naik turunya IHSG, semoga bermanfaat.