Mengenal RGEC Dan Tingkat Kesehatan Bank

Dalam hal penilaian kesehatan bank ada yang disebut dengan RGEC (Risk, GCG, Earning, Capital) yang merupakan indikator untuk menentukan apakah sebuah bank layak disebut sehat atau tidak.

Lalu kenapa harus ada penilaian kesehatan bank? Dan siapa yang memiliki otoritas untuk menilai?

Oke, hal pertama yang harus kita pahami adalah Bank sebagai lembaga yang menjadi perantara pihak penabung dan peminjam, memiliki risiko yang sangat besar. Resiko tersebut bisa bermacam-macam. Mulai dari resiko pasar, resiko kredit macet, likuiditas, reputasi, hukum, operasional dan lain sebagainya.

Berangkat dari risiko-risiko inilah sebuah perbankan harus benar-benar dipantau agar dapat berjalan sebagaimana mestinya (No pailit). Disinilah peran dari Bank Indonesia sebagai induk dari segala perbankan untuk melakukan evaluasi dan penilaian lewat prosedur RGEC.

Kenapa RGEC itu penting?

Satu hal yang perlu kita garis bawahi adalah setiap krisis finansial yang berujung pada krisis moneter senantiasa dipicu oleh “gagalnya perbankan mendapatkan kredibilitas di mata nasabah”.

Salah satu peristiwa krisis paling besar di dunia, yaitu the black tuesday, yang melanda Amerika pada era 1930an mengingatkan kita akan pentingnya trust dalam dunia finansial khususnya perbankan. Ketika Bank gagal mendapatkan trust tersebut, maka yang terjadi adalah anomali dalam dunia perbankan berupa rush.


Rush adalah tindakan nasabah yang menarik tabungan serta deposito mereka dibank secara bersamaan. Bayangkan jika sebuah bank memiliki uang nasabah sebesar 10 triliun rupiah, sementara 80% dari uang tersebut sedang disalurkan bank dalam bentuk pembiayaan atau kredit kepada pengusaha. Disisi lain nasabah dilanda “kegundahan” bahwa uang mereka akan hilang. Maka secara bersamaan mereka menarik uang tersebut. Apa yang akan terjadi?

Bank tidak akan mampu membayar uang nasabah secara keseluruhan. Pada akhirnya bank hanya akan memasuki tahap paling kelam dalam dunia finansial (pailit).

Inilah yang menjadi alasan kenapa RGEC itu penting. Kenapa kemudian sehat atau tidaknya bank menjadi indikator untuk menentukan layak atau tidaknya lembaga keuangan tersebut dipercayai.

Jika anda seorang nasabah dari sebuah bank, apa yang menjadi alasan anda memilih bank untuk menempatkan sejumlah uang anda baik dalam bentuk tabungan maupun deposito?

Tidak ada alasan lain selain rasa aman. Dan sadar atau tidak, rasa aman yang anda yakini itu adalah representasi dari kinerja bank berdasarkan konsep RGEC.

Dengan kata lain, bank akan dikatakan Sehat jika ia mampu memenuhi indikator RGEC sehingga bisa menjaga kepercayaan nasabah berupa rasa aman tersebut.

Lalu apa saja indikator RGEC yang harus dipenuhi perbankan?

RISK

Dalam dunia bisnis, risiko (risk) didefinisikan sebagai kemungkinan akan adanya kerugian di masa mendatang. Perbankan dikatakan sehat jika ia mampu meminimalkan risiko-risiko yang ada dalam dunia perbankan.

Risiko yang dihadapi perbankan dalam dunia finansial bisa berupa risiko kredit macet, risiko likuditas (kemampuan membayar utang jangka pendek), resiko reputasi, hukum, dan lain sebagainya. Semakin mampu perbankan meminimalisasi risiko tersebut maka perbankan tersebut akan semakin sehat.

Good Corporate Governance

Konsep GCG di abad ke-21 seakan menjadi prasyarat utama untuk menjaga eksistensi agar tidak bangkrut. Bukan hanya perbankan, namun setiap korporasi harus menjunjung tinggi nilai-nilai GCG untuk mewujudkan dan membangun sistem bisnis yang kokoh.

GCG yang baik akan menghasilkan hubungan baik dan berkelanjutan antara pihak internal (manajemen) dan pihak luar (pemegang saham, investor, dan masyarakat).

Dengan demikian, jika bank gagal mengimplementasikan konsep GCG maka berarti ia “sakit” di mata Bank Indonesia maupun dimata nasabah dan pihak lainnya yang berkepentingan. Beberapa indikator dalam GCG yang harus diterapkan oleh bank adalah transparansi, akuntabilitas, fairness (keadilan), responsibilitas, dan independensi.

Earning

Bank dikatakan sehat atau tidak, dilihat dari earning (kinerja keuangan dalam menghasilkan laba). Dalam hal ini Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas tertinggi untuk menilai, menggunakan pendekatan rasio ROE (Return On Equity). ROE Yaitu konsep untuk melihat seberapa besar modal yang dimiliki perbankan dalam menghasilkan laba setelah pajak.

Jika bank memiliki modal yang cukup besar, namun laba yang dihasilkan sangatlah kecil (di bawah batas kewajaran), maka bank tersebut patut dicurigai oleh BI. Dikemanakan modal tersebut?

Capital

Last but not least, yang menjadi indikator untuk menentukan apakah bank tersebut sehat atau tidak adalah dengan melihat tingkat kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio – CAR).

CAR akan ditetapkan lebih rendah atau lebih tinggi oleh BI tergantung pada Risk Profile masing-masing perbankan, karena setiap bank memiliki tingkat risiko yang berbeda. Sederhananya bank yang dinilai sangat berisiko tentunya pengawas BI akan meminta kebutuhan minimum modalnya (CAR) lebih besar.

Jika modal yang disediakan bank kecil sedangkan profile risk bank tersebut tinggi, maka tentu saja bank tersebut akan mendapatkan pengawasan khusus dari BI sebab memungkinkan untuk dimasukan dalam kategori tidak sehat.

Demikianlah konsep RGEC yang diterapkan Bank Indonesia dalam rangka menilai tingkat kesehatan bank. Semoga perbankan di Indonesia akan senantiasa sehat, tidak ada yang sakit-sakitan apalagi sampai harus dirawat inap karena sekarat dan siap menjemput maut. JANGAN SAMPAI!