Rupiah Terjebak Dalam Lingkaran Setan Finansial

Setelah memperingati kemerdekaan yang ke 70, Indonesia kembali diterjang badai finansial, rupiah semakin merosot. Ulah Tiongkok yang mendevaluasi Yuan beberapa waktu lalu memang masih menjadi kendala utama bagi kemerosotan rupiah yang bahkan beberapa kurs jual dari lembaga perbankan dalam negeri telah memasuki titik 14.000 rupiah per US Dollar nya.

Keadaan ini tentu saja akan sangat berdampak pada stabilitas ekonomi, apalagi kalau bukan problematika klasik Ekspor-Impor, Inflasi, dan neraca perdagangan yang defisit.

Dalam ranah ekonomi, ada dua isu klasik yang menjadi sumber munculnya berbagai permasalahan ekonomi, saling terkait dan saling mempengaruhi, sehingga saya menyebutnya dengan efek domino. Kedua isu tersebut adalah nilai tukar (kurs) dan fluktuasi harga (inflasi maupun deflasi).

Hubungan antara keduanya (kurs dan inflasi) ibarat perumpaan ayam dan telur. Mana yang duluan, ayam kah atau telur? Begitu pun dengan kurs dan inflasi. Apakah nilai kurs yang lemah lalu menyebabkan inflasi, ataukah inflasi yang menyebabkan kurs melemah? Sulit untuk menjawabnya tanpa logika dan analisa perekonomian yang mapan.

Namun, dengan melihat kurs (nilai tukar) Rupiah saat ini, saya kira kita sedang berjalan menuju gerbang Inflasi yang sempat terkunci sejak 1998. Gerbang yang akan membuat Rupiah kembali terjebak dalam lingkaran setan finansial.

rupiah terjebak dalam lingkaran setan finansial

Sejatinya ada dua faktor yang akan membuat rupiah terjebak dalam “lingkaran setan” ini,  yang pertama adalah lemahnya nilai tukar rupiah akan mendorong terjadinya inflasi, dan kedua inflasi yang tinggi akan melemahkan nilai tukar rupiah. Mari kita lihat..


1. Lemahnya Nilai Tukar Rupiah Akan mendorong terjadinya Inflasi

Sebelumnya mari kita lihat fenomena Yuan dan apa perbedannya dengan Rupiah, padahal keduanya sama-sama melemah.

Seputar Yuan Dan Taktik “Kelicikan” Tiongkok

Anda tahu kenapa Yuan didevaluasi oleh pemerintah Tiongkok?

Tidak lain karena alasan ekspor. Tiongkok mendevaluasi (melemahkan) Yuan karena negeri tirai bambu tersebut mengalami kemerosotan ekspor, meski tidak terlalu parah.

Lalu kenapa Yuan didevaluasi?

Dalam kancah “permainan” pasar uang global, dengan melemahkan mata uang secara manual (devaluasi), maka mata uang tersebut akan menurun nilai nya dibandingkan dengan sejumlah mata uang raksasa – hard currency (dalam hal ini US Dollar).

Dengan kata lain, Yuan melemah terhadap dollar. Lalu apa implikasinya?

Ekspor Tiongkok akan di jual murah meriah dipasaran komoditas barang dan jasa global. Dengan demikian, tercapailah tujuan Tiongkok yang ingin meningkatkan popularitas ekspornya yang sempat menurun. Lalu, apakah Tiongkok menderita kerugian? Kan ekspornya jadi murah?

Tentu saja tidak. Ukuran rugi atau tidaknya ekspor tidak dilihat dari mahal atau murahnya komoditas ekspor, melainkan dari neraca perdagangan, apakah defisit atau surplus.

Ekspor Tiongkok memang murah, tetapi mari kita lihat, ada berapa juta produk “made china” yang bertebaran di pasaran internasional? Bukan hanya menang kuantitas, tetapi kualitas komoditas Tiongkok tetap number one (setidaknya bagi masyarakat Indonesia).

Ekonom Tiongkok memang jauh lebih pintar, lebih cerdik, dan lebih jeli dibandingkan ekonom-ekonom kita yang telah terkontaminasi oleh racun- racun kekuasaan. Tiongkok berhasil menerapkan prinsip Product, price, and People jauh lebih cepat ketimbang kita.

Product? Tiongkok berhasil menciptakan produk yang menang telak baik kuantitas maupun kualitasnya.

Price? “Harga yang membumi” berhasil mereka terapkan. Harga Produk Tiongkok mampu merangkul semua elemen masyarakat. Sebenarnya sih produknya gak bagus-bagus amat, tapi harganya itu loh!

People? Tepat sekali. Target konsumen Tiongkok adalah masyarakat negara berkembang. Ekonom Tingkok paham betul kalau masyarakat negara berkembang akan menanyakan harga terlebih dulu ketimbang melihat kualitas barang dalam transaksi jual beli. Sebuah kebiasaan klasik yang  menjadi kelemahan, namun siapa sangka Tiongkok menjadikannya sebagai “Sasaran Pasar”. Kejamkah?Entahlah.

Lalu pertanyannya, Akankah Tiongkok mengalami badai Inflasi?

Belum bisa dipastikan, tapi saya yakin sepenuhnya bahwa itu tidak akan terjadi. Kenapa? Karena melemahnya Yuan masih dalam kendali penuh otoritas keuangan Bank Sentral Tiongkok.

Perbedaan fundamental antara melemahnya Yuan dan melemahnya Rupiah terletak pada dua kata, “terpaksa”, dan “sengaja”.

Melemahnya Yuan karena “sengaja” yang dalam kaidah ilmu trading dikenal dengan istilah devaluasi. Sedangkan melemahnya rupiah karena “terpaksa” dan dalam kaidah trading dinamakan depresiasi.

Rupiah terpaksa mengalami depresiasi karena mata uang negeri ini berada pada jangkauan undervalued atau mata uang yang lemah. Lagi-lagi, akibat devaluasi Yuan menyebabkan kurs dollar naik menggila dipasar uang. Implikasinya Rupiah semakin merosot dan terkapar lemah.

Ketika nilai tukar Rupiah lemah, harga-harga barang impor akan meningkat. Kenyatannya, kita masih mengimpor bahkan untuk urusan bahan baku yang semestinya bisa produksi sendiri.

Impor bahan baku, berarti kita mendatangkan bahan baku industri dari luar negeri. Bahan baku tersebut diolah lagi untuk menjadi produk siap pakai di Indonesia, seperti untuk produksi Tempe, kita masih impor Kedelai. Jika nilai rupiah melemah, otomatis biaya produksi berbahan baku Kedelai juga naik, dan implikasinya, harga Tempe dan olahan Kedelai seperti Tahu, Kecap, dan lain-lain pun meningkat.

Jika bahan baku naik, maka harga-harga kebutuhan lainnya pun ikut-ikutan naik. Ini yang disebut dengan “gengsi ekonomi”. BBM naik, produk-produk teknologi naik, pakaian, aksesoris, semuanya naik.

Jika sudah demikian, maka selamat kita telah memasuki tahapan awal menuju kesengsaraan finansial yang abadi.

2. Inflasi Yang Meningkat, Nilai Tukar Rupiah Akan Semakin Merosot

Inflasi yang kelewat tinggi akan membuat biaya produksi barang di Indonesia tinggi juga. Akibatnya, produsen terpaksa meningkatkan harga barangnya. Kalau barang itu adalah barang ekspor, maka kenaikan harga bisa mengakibatkan permintaan terhadap barang tersebut dari luar negeri berkurang.

Kenapa berkurang? Bisa jadi, ada negara lain yang bisa menawarkan barang yang sama dengan harga lebih rendah, sehingga mereka yang dulu membeli dari Indonesia pindah membeli ke negara lain. Bisa jadi juga, daya beli dari negara tersebut tidak memungkinkan mereka untuk membeli barang itu dengan jumlah yang sama.

Jika permintaan dari negara lain berkurang, maka ekspor kita akan semakin rendah. Dan satu hal yang perlu dicatat, negara kita ini merupakan negara yang doyan impor, ditambah lagi gencaran Tiongkok yang produknya makin menggila.

Sehingga kita memasuki sebuah realitas pahit. Inflasi dalam negeri, ekspor rendah, dan impor yang tinggi. Akibatnya? Neraca perdagangan defisit.

Neraca perdagangan defisit yang akan membuat persediaan devisa berkurang. Jika persediaan devisa berkurang maka kita kembali memperburuk penyakit Rupiah, dia akan semakin dekat dengan alam kubur!

Sebuah realitas asem akibat ulah aseng yang akan kita alami jika rupiah dibiarkan terus-terusan seperti ini. Rupiah melemah, negara inflasi, ekspor menurun, impor meningkat, neraca perdagangan defisit, devisa berkurang, balik lagi KURS MELEMAH!

Sungguh kita akan benar-benar terjebak dalam lingkaran setan, mengulang tragedi finansial 98 dan menunggu pahlawan sekelas habibie muncul di negeri porak-poranda ini. Sekian, wassalam!